Monday, September 3, 2012
Tangis di ujung Pesta
Kesibukan di rumahku yang sederhana itu ternyata masih tampak hingga pagi hari menjelang. Rupanya pesta pernikahan kakaku semalam telah menyisakan banyak sekali pekerjaan untuk keluarga dan sanak saudaraku. Dapur, halaman rumah, ruang tamu, seakan semua memanggil saudara-saudaraku untuk segera dibereskan. Dari dalam rumah pun samar-samar kudengar tukang sound system juga sedang membereskan peralatannya. Yah.. Sepertinya tidak ada yang tidak sibuk pagi ini.
Sementara itu di salah satu kamar berukuran 3x4 yang tak berjendela, tampak ayahku yang terbaring lemah. Sudah 6 bulan ini ayahku terbaring di kamar itu karena stroke. Di sebelahnya tampak ibu dan pamanku duduk bersimpuh. Kedua tangan mereka terlihat sedang memegang Surat Yaasin, sembari mulut mereka tak henti-hentinya melafalkan surat itu sambil berlinang airmata.
Di luar kamar, ku lihat bibi dan kak Ulfa sedang berbincang-bincang. Wajah mereka tampak sangat gelisah dan terlukis kekhawatiran yang sangat dalam.
“Lha terus, Ridwan tadi kemana Ul..?” Tanya bibi pada kak Ulfa, kakak perempuanku yang baru berstatuskan menikah itu.
“Sedang mencarikan dokter” jawab kakakku lirih “Oh iya sampai lupa, saya mau beli sabun cream sebentar ya” lanjutnya sambil berlalu.
Aku yang saat itu masih duduk di bangku kelas 3 SMP masih belum mengerti tentang apa yang saat itu sedang terjadi. Yang aku tau hanyalah bahwa ayahku sudah terbaring di kamar itu selama 6 bulan, dan tidak ada kondisi yang berubah semenjak beliau jatuh sakit. Aku berjalan pelan dan duduk termenung di ruang tamu. Entah apa yang aku fikirkan saat itu. Seakan ada suatu hal yang menghimpitku erat hingga otakku terasa membeku.
“Allahu akbar.. Allahu akbar.. Allahu akbar…. Paak..” Terdengar suara ibu dan pamanku dari dalam kamar di warnai tangis ibuku. “Allahu akbar…”
Aku pun segera berlari untuk melihat apa yang terjadi. Tampak olehku nafas ayahku yang kini tidak beraturan sembari kedua kakinya dipegang oleh pamanku. Detak jantungku pun smakin tak menentu melihat kejadian tersebut sehingga memaksa langkah kakiku untuk beranjak dari kamar.
Di ruang tengah, keponakanku yang berumur 6 tahun tampak sedang membaca komik kesayangannya. Senyum manis yang biasanya terpasang diwajahnya pun kini tak terlihat olehku saat itu. Ternyata dia pun merasakan kegelisahan yang kini sedang melanda keluargaku.
Aku pun melanjutkan langkah kakiku ke dapur. Kesibukkan yang tadi mewarnai dapur rumahku, kini sedikit berubah. Kak Laila yang tadi mencuci piring, kini tampak menangis terduduk di kursi dapur.
“Ada nomrnya mbak Alif nggak Klis…?” dengan terisak-isak kak Laila bertanya padaku.
“Sinyalnya sedang gangguan mbak, gak bisa telfon..” jawabku pelan.
Kak Alif adalah putri kesayangan ayahku yang saat itu sedang di luar kota dan belum tahu apa yang kini sedang terjadi. Tiba-tiba kulihat ibuku berjalan keluar kamar dan terduduk lemas di lantai ruang tengah sambil menangis.
“Aku ikhlas bila bapak mau pergiii.. aku ikhlas pak.. Lepaskan saja bila bapak sudah tidak tahan, aku ikhlas..” Ibuku berkata nyaring, senyaring isak tangisnya. Hatiku begitu perih melihat hal itu, sehingga sampai detik ini pun kalimat itu begitu jelas terngiang di otakku.
Entah apa yang menahan langkahku sehingga aku pun hanya terdiam saat melihat ibuku menangis seperti itu. Mungkin seharusnya aku memeluknya sehingga rasa sakit itu sedikit berkurang.
Beberapa saat kemudian, kulihat pamanku keluar dari kamar dan berdiri disamping bibiku yang sejak tadi tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya. Ku lihat pamanku mengatakan sesuatu pada bibiku lirih. Dan tiba-tiba saja tangisnya pecah. Yang lain pun menghampiri pamanku untuk mengetahui apa yang sedang terjadi, hingga tiba-tiba seisi rumahku penuh sesak dengan tangis. Entah kalimat apa yang keluar dari mulut pamanku. Tapi setidaknya aku sudah bisa membaca keadaan tersebut sehingga akupun berlari ke kamar dan tampak olehku tubuh ayahku yang kini telah berselimut kain jarik.
“innalillahi wainnailaihi rajiuun..” kalimat itu spontan keluar dari mulutku seiring dengan kepedihan yang sangat dalam. Gerimis pun turun menyambut hari yang kelam dalam sejarah keluargaku. Sepertinya langit mengerti tentang apa yang aku rasakan, sehingga ia pun meneteskan air matanya. Selamat tinggal ayah, tunggu aku di surga untuk kebahagiaan yang sebenarnya..#Memory of 16 January 2005#
Labels:
Goresan Kata
Location:
Samarinda, Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment